
Demikianlah NU berkembang hingga kini dan tercatat dalam sejarah memiliki andil besar dalam membentuk Indonesia dan Keindonesiaan. Sebagai organisasi yang pada kemudian hari berkembang paling besar, NU syarat dengan dinamika sejarah yang mungkin tak pernah terbayangkan oleh para pendirinya. Berbagai tarik menarik kepentingan ditubuh NU pun bermunculan, antara faksi yang berkeinginan NU untuk tetap menjadi organisasi sosial keagamaan dan keinginan untuk menjadikan NU sebagai organisasi politik.
Sejak awal, kegairahan beberapa ulama NU untuk menginjakkan kaki didunia politik mulai terlihat. Sejak kemerdekaan Indonesia dikumandangkan dan masyarakat mulai membangun basis basis politik lewat partai, NU secara politis mengintegrasikan diri dengan Masyumi sebagai payung politiknya. Namun tak seberapa lama, NU keluar dari Masyumi, lantas berdiri sebagai partai tersendiri. Begitulah politik, yang sangat rawan dengan konflik-konflik jika pembagian kue kekuasaan itu tak merata.
Perjalanan NU sebagai partai politik terus berlangsung, dan pada tahun 1955 menjadi salah satu kontestan pemilu. Lewat pemilu itu, Partai NU menduduki peringkat ketiga dalam perolehan suaranya setelah PNI dan Masyumi. Dengan berbasis dukungan secara nasional 7 juta suara, dimana 50 persennya didapat dari Jawa Timur.

Pada Muktamar NU di Surabaya tahun 1971 ini berkembang dua model pemikiran tentang posisi NU didunia politik. Pemikiran pertama berkeinginan untuk mengembalikan NU sebagai jam’iyah dan menyerahkan kepada para politisi NU untuk membentuk wadah baru sebagai partai politik pengganti NU. Kedua; membentuk semacam biro politik dalam jam’yah NU. Biro ini berada dalam struktur formal NUyang bertugas semata untuk urusan politik. Namun karena begitu kuatnya kaum politisi dilingkungan NU, maka gagasan untuk menarik NU kancah politik segera pupus.
Barulah pada Muktamar NU di Semarang pada tahun 1979 muncul gerakan untuk mengantarkan NU menuju langkah transisi untuk keluar dari bingkai politik. Walau sepenuhnya belum keluar dari bingkai politik, setidaknya pada muktamar ini, kalangan arus bawah yang menuntut NU keluar dari PPP semakin kuat. Tarik menarik antara kubu politik dan kubu non politikpun terus sengit berlangsung. Orang orang NU yang waktu itu menjadi politisi NU berupaya semaksimal mungkin untuk mempertahankan posisi politik NU.
Mereka berargumen bahwa perubahan yang dilakukan oleh NU tidak harus menarik diri dari wilayah politik (PPP), sebab sejak awal kelahiran NU sendiri sebenarnya merupakan sikap politik. Berbeda dengan pemilu tahun 1971, pada pemilu tahun 1977 ini NU bukan lagi menjadi partai tersendiri. Akibat tekanan Pemerintahan Orde Baru untuk membuat kebijakan fusi partai, maka NU bersama sama dengan partai Islam lainnya bergabung jadi satu wadah yang selanjutnya dikenal dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Walau telah berfusi menjadi PPP, Muktamar NU di Semarang ini masih sama sikap politiknya, Muktamar masih berujung pada sikap untuk mempertahankan posisi politik NU, yakni menempatkan diri sebagai penyokong PPP. Posisi ini mirip dengan awal awal posisi NU didunia politik yang bergabung dengan Masyumi. Perkelahian politik d internal PPP pun terus bergulir yang memaksa NU untuk berfikir ulang didalam PPP.
Momentum emas NU baru didapat pada Muktamrnya pada tahun 1983 di Situbondo. Sambil dimotori oleh kalangan muda yang berada diluar struktur seperti Dr. Fahmi Saifuddin, Umar Basalim, Tolcah Hasan, ditambah dengan Gus Dur yang waktu itu ada dalam jajaran PBNU mendesakkan agenda depolitisasi NU. Akhirnya desakan itu pun disambut dengan manis oleh para ulama kharismatik untuk mengubar jalur orientasi NU yang semula perjuangan politik menjadi perjuangan sosial-keagamaan. Posisi ini terus bergulir sampai hari ini, setidaknya pada tingkat formal masih nampak begitu, akan tetapi atrakasi politik di lapangan kerapkali menunjukkan NU masih gemar berpolitik. Hal ini ditunjukkan dengan sikap sikap elit NU sekarang ini.
Sumber: Dokumentasi Averroes, Ngaji Kebudayaan 2003
0 komentar:
Posting Komentar